Monday, December 2, 2013

Penyair itu kode sedang bulan adalah refleksi dari suatu kode, refleksi yang menoreh berkas dengan tautan pensil yang bergoyang. Gerak jemari mengalur mengikuti imajinasi kelana. Menyusuri tiap sudut kehidupan, menerjang semu kearifan sipemilik tahta dunia. Yang memalingkan kesucian demi cinta Pada benda yang meraja. Tertawa berlari dari kewajiban. Bisanya hanya terjerat dalam lelap yang berjalan dalam angan.

Ketika refleksi semakin menjadi primadona alam, Adhwa tenggelam dalam muhasabah senja yang berlalu. Cinta-Nya membuatnya berlayar pada telaga kedamaian. Menyiram segumpal merah antara rusuk penuh sesak dan amarah. Balut gundah dalam rangkai tasbih. Kokohkan jiwa dengan seribu kalimat tauhid. Keyakinan bergema takbir dihati insan berkalang cerca. Tak ada yang tahu rasa apa yang dirasa, serinci apapun menjelaskan, karibpun tidakkan bisa merasa. Sujud panjang menyatu cinta, mengucil diri dalam pekatnya. Bahasa jiwa hanya insan dan pemilik-Nya yang paham.
Semua berputar pada poros dan lintasan yg akhirnya akan kembali melalui garis-Nya. Pembelaan terhadap takdir tak berujung pelangi. Takdir-Nya indah namun keterbalikan akan logika.
Ibnu hazm berkomentar “ cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya, syariatpun tidak melarangnya.” Karena itu, kata sebagian pakar “keterangan tentang cinta, bukanlah cinta”.
Cinta, kepedihan, kebahagiaan, ambisi, ataupun prestasi hanyalah realisasi dari sebuah naluri yang akhwat-akhwat bilang “permainan gharizah”. Seorang Adhwa tidak terlalu paham akan itu, Adhwa hanyalah seseorang perempuan yang berusaha menjadi baik namun jauh dari baik. Keistiqomahan bergoyang ketika diterpa angin kehidupan. Adhwa adalah perempuan belia cinta ilmunya.
***

Ketika lulus SMA ada niatan untuk kuliah meski kendala itu menyapa, disitulah manisnya cobaan. Pak suryo selalu berwejang “ nak kalau mau kuliah mantapkan hati, yang serius, dan fokuskan satu tujuan! ”.Hati punya kemantapan dan keyakinan akan itu. Dari dulu hanya satu niat yang mungkin semua anak-anak ingin lakukan untuk orangtuanya, mewujudkan impian menjalankan rukun islam yang ke-5. Kehidupanya yang tidak memungkinkan saat itu, Membuat rentan uji. Pemegang tahta dunia berkoar mengumandangkan kesejahteraan rakyat. Tapi menjadi benalu kehidupan buat segelintir mereka.Pangkal penghidupan diganggu antek-anteknya, berasas “penghijauan”. Ladang petani diganggu pada musim panen. Adwha menahan sesal, pak suryo abinya menguatkan. “Tidak usah dipikirkan nanti abi akan usahakan, urusi saja semua kepentingan buat kuliahmu”. Adwha hanya memegang ayat-Nya jika allah mempermudah urusan untuk para pencari ilmu. Adhwa bukan wanita bertajuk senja yang rela menanti sore dirumah orangtuanya. Proses tidak lagi terlalui tapi terlampaui secara halus meski bukan tujuan. Seseorang mengatakan “petani yang sukses bukan dilihat dari dimana ia berkebun, tapi siapa petaninya”. Semua bermula dari niatan yang berbanding terbalik akan cinta semu.

No comments:

Post a Comment